Jika buruh pergi
Kita manajemen pidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau buruh sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Manajemen harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila buruh tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan manajemen
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh pembangkang dan menggangu produksi
Maka hanya satu kata : LAWAN !
Buruh Pabrik
Catatan keseharian seorang buruh pabrik
Jumat, 09 Mei 2014
Minggu, 27 April 2014
Muhammad Bakri, mantan karyawan IKPP
Muhammad Bakri mengalami kecelakaan kerja, yang mengakibatkan satu kakinya harus diamputasi. Setelah setahun menjalani perawatan yang ditanggung oleh perusahaan, ia kembali bekerja. Alhasil, pekerjaan yang ia geluti tak berjalan maksimal. “Saya mendapat nilai C terus,” katanya, mengenang kejadian itu. Bekerja dengan kondisi cacat selama lima tahun, membuatnya tak nyaman. Karena cacat, Bakri dianggap tidak produktif oleh perusahaan tempatnya bekerja itu. Di tahun 2010 ia pun dipecat.
Bakri tak larut pada kesedihan. Keterbatasan yang dimiliki oleh Bakri tak membuatnya minder, apalagi malas untuk berkarya. Sejak diamputasi, ia mencoba mengumpulkan beberapa orang yang memiliki nasib yang sama dengannya, mereka kaum difable. Misinya hanya satu, yaitu mendirikan organisasi untuk kaum difable. “Saya datang ke rumah-rumah penyandang cacat dan mengumpulkan mereka. Tujuan saya melakukan itu adalah saya ingin mendirikan satu organisasi yang bisa menjadi wadah bagi penyandang cacat, termasuk saya sendiri. Dalam jangka waktu dua tahun pencarian, saya hanya bisa menggandeng empat orang untuk ikut berorganisasi,” jelas Bakri.
Idenya untuk membuat organisasi bagi kaum difable ini diajukan ke tingkat provinsi Riau, dan disetujui. “Pada tahun 2005 Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) didirikan. Perjuangannya mulai dari mengumpulkan orang-orang penyandang cacat itu sudah dimulai sejak tahun 2003. Di BPOC kami mengelompokan mereka sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Kalau kemampuannya pada olahraga ya dikelompokan ke bisa olahraga, dan kalau bakatnya ke yang lain kita arahkan ke sana. Di BPOC dibuat juga pelatihan-pelatihan keterampilan, seperti: menjahit, dll,” terang Bakri.
Selama BPOC berdiri, Bakri dan teman-temannya berupaya untuk menjaring para penyandang cacat di wilayah kabupaten Siak, Provinsi Riau. “Ada sekitar 273 pnyandang cacat yang menjadi anggota BPOC. Setelah didata dan saya interview ternyata hanya dua puluh persen diantara mereka yang berpendidikan,” ungkap Bakri. Mengetahui hal tersebut, Bakri pun bertekad untuk membuat SLB di kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. “Sejak saat itu saya beritikad untuk bikin SLB. Pada tahun 2008 saya utarakan niat tersebut kepada istri saya, dan dia setuju,” tambahnya.
Motivasi Bakri untuk mendirikan SLB adalah ingin agar para penyandang cacat—baik fisik ataupun mental—memiliki kesempatan untuk mengakes pendidikan. “Ketika saya cacat di tahun 2001, saya melihat banyak penyandang cacat di wilayah saya yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak diberikan kesempatan untuk punya kegiatan di luar. Karena cacat itu dianggap tabu, aib keluarga dan kutukan dari Tuhan. Jadi, orangtua dan keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga yang cacat biasanya di simpan di dalam rumah, tidak boleh keluar. Saya ingin agar mereka bisa berkarya, memiliki kegiatan di luar, berinteraksi dan memiliki kesempatan untuk bisa mengecap pendidikan,” ujar Bakri.
Bermodalkan uang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp 23 juta, tabungan dan pinjaman, Bakri memberanikan diri untuk mewujudkan niatnya membangun gedung SLB. “Pada tahun 2008 saya berupaya membangun gedung SLB dengan modal uang Jamsostek saya selama bekerja di PT. IKPP sebesar 23 juta, ditambah dengan tabungan anak saya yang sudah saya tabung sejak saya masih sehat sebesar 15 juta. Untuk tanah SLB yang saat ini berada di bawah yayasan saya beli dari hasil pinjaman dari PT Permodalan Siak (Persi) sebesar 35 juta, dengan jaminan sertifikat tanah milik saya yang saya beli dari hasil mengumpulkan uang saat saya masih bekerja di PT. IKPP,” jelas Bakri.
SLB yang diberi nama Fajar Amanah itu didirikan di dekat tanah kuburan di wilayah Perawang Kecamatan Tualang. “Banyak orang enggan dan takut karena lokasinya dekat tanah kuburan,” ucap Bakri. Saat ia membangun SLB tersebut, banyak orang yang mencemoohkannya. “Banyak yang mengatakan bahwa saya sudah stress, bahkan gila. Setiap hari datang ke kuburan untuk bersihkan lahan. Mereka tidak mengetahui niat saya membangun sekolah di sana,” sambung Bakri. Walau menuai cemoohan, Bakri bergeming. Tekadnya sudah bulat, semua uangnya dialokasikan untuk merealisasikan niat mulianya itu. Apalagi, di Kecamatan Tualang belum ada SLB. Fasilitas SLB Negeri bagi anak berkebutuhan khusus hanya tersedia di Kota Riau saja. Dan untuk mengakses kota, jaraknya cukup jauh dari wilayah Kecamatan Tualang.
Selama gedung SLB dalam proses pembangunan, Bakri mulai mencari murid. Dari satu rumah ke rumah lain ia berusaha mencari anak-anak berkebutuhan khusus untuk dijadikan muridnya. “Selama dua tahun saya berjuang dari satu rumah ke rumah lain mencari murid. Saya berupaya menjelaskan bahwa cacat bukanlah aib, hal yang memalukan atau kutukan dari Tuhan. Anak cacat juga harus diberikan kesempatan untuk belajar, sekolah. Saya jelaskan bahwa paling tidak jika sekolah anak mereka bisa membaca dan menulis,” ungkap Bakri. Tetapi, selama 2 tahun itu pula dirinya mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan berupa ejekan, makian, dan hinaan dari warga setempat. “Niat saya kala itu ingin mengajak warga mendirikan sekolah bagi anak cacat, namun bukan dukungan malah sebaliknya. Saya diludahi empat kali. Bahkan saya diusir,” katanya dengan nada lirih.
Upaya tersebut berbuah hasil. Dalam waktu dua tahun Bakri mendapatkan 13 murid. “Di antara mereka kebanyakan tunagrahita,” ucapnya Bakri. Namun, karena bangunan sekolah belum selesai dibangun, maka proses belajar-mengajar dilakukan di kantor BPOC. “Untuk tempat mengajar saya menumpang di kantor BPOC di sebuah ruko yang disewa. Selama kurang lebih enam bulan kegiatan belajar-mengajar dilakukan di sana,” terang Bakri.
Bangunan SLB Fajar Amanah baru selesai dibangun pada tahun 2009. Awal berdiri bangunan SLB tersebut tampak sederhana, karena dibangun dengan cara mencicil. “Awalnya, banyak yang bilang bahwa bangunan SLB ini seperti kandang kambing, karena dibuat dari papan-papan saja. Saya bangun dengan cara mencicil sesuai dengan kemampuan saya. Kalau ada uang, ditambah ini dan itu,” aku Bakri. Pernah suatu ketika ia mendapatkan penghargaan sebagai Pekerja Sosial di tingkat nasional dari Menteri Sosial pada tahun 2010, dan mendapatkan uang saku sebesar Rp 9 juta. Semua uang tersebut dialokasikan untuk membangun SLB. “Uang itu tidak saya berikan kepada istri saya, tetapi saya pakai untuk membangun ruang sekolah. Sejak tahun 2008 saya tidak pernah membrikan uang kepada istri saya. Semuanya saya gunakan untuk bangun SLB. Istri saya mencari uang sendiri dengan berjualan donat dan bakwan,” jelas Bakri, berkisah tentang dukungan besar sang istri padanya dalam merealisasikan cita-citanya membangun akses pendidikan bagi kaum difable.
Tak hanya ruang kelas, ada 14 tenaga pengajar yang dipekerjakan oleh Bakri untuk membimbing dan mendidik murid-murid di SLB Fajar Amanah. “Guru-guru itu saya gaji ada yang 300 ribu, 400 ribu, sampai 700 ribu. Tetapi, ada juga yang sukarela mengajar, tidak digaji,” sambungnya. Untuk bisa membayar gaji para guru tersebut, Bakri mematok SPP sebesar Rp 75 ribu per bulan. “SPP per bulannya itu tujuh puluh lima ribu rupiah. Tetapi, tidak semua orangtua dari tujuh puluh Sembilan murid yang aktif itu membayar sebesar itu. Hanya sekitar dua puluh orang yang bayar sesuai dengan SPP, sisanya ada yang hanya bayar sepuluh ribu atau bahkan tidak membayar sama sekali. Mereka itu dari kalangan tidak mampu dan anak yatim. Jadi, saya bilang tidak mengapa tidak bayar, yang penting anak bisa sekolah,” kata Bakri.
Kegiatan belajar mengajar di SLB Fajar Amanah dilakukan sesuai dengan kurikulum SLB. “Sesuai kurikulum SLB. Ada juga pelajaran Bina Diri untuk anak tunagrahita, pelatihan atau workshop, dan ikut beberapa kegiatan seperti lomba-lomba,” terang Bakri. Siswa-siswi SLB Fajar Amanah sudah menorehkan prestasi, diantaranya adalah Juara II tingkat SD dan tingkat Provinsi di Olimpiade Science IPA dan matematika pada tahun 2011; Juara II Pekan Pelajar Paralimpik daerah pada tahun 2011; lomba menggambar; dll. “Kita dapat medali perak untuk lomba lari seratus meter,” sambungnya.
Sumber : https://warcyber.wordpress.com/wp-admin/post-new.php
Senin, 21 April 2014
Hari Buruh di Indonesia
Indonesia pada tahun 1920 mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei.
Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.
Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30Spada 1965 ditabukan di Indonesia.
Semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas tidak pas, karena mayoritas negara-negara di dunia ini (yang sebagian besar menganut ideologi nonkomunis, bahkan juga yang menganut prinsip antikomunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota.
Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori “membahayakan ketertiban umum”. Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif dan didalangi gerakan komunis. Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari libur telah secara resmi dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun 2003. Secara tidak langsung, kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei mengalami kemerosotan tajam. Makin lama makin menghilang.
Dari Internet
Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.
Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia, dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Ini disebabkan karena gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan dan paham komunis yang sejak kejadian G30Spada 1965 ditabukan di Indonesia.
Semasa Soeharto berkuasa, aksi untuk peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif, karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi komunis. Konotasi ini jelas tidak pas, karena mayoritas negara-negara di dunia ini (yang sebagian besar menganut ideologi nonkomunis, bahkan juga yang menganut prinsip antikomunis), menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota.
Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori “membahayakan ketertiban umum”. Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena mereka masih berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day adalah subversif dan didalangi gerakan komunis. Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari libur telah secara resmi dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun 2003. Secara tidak langsung, kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei mengalami kemerosotan tajam. Makin lama makin menghilang.
Dari Internet
Sejarah 1 Mei Sebagai Hari Buruh
Dalam sejarahnya 1 Mei lahir saat kaum buruh dari seluruh dunia
memperingati peristiwa besar demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat
pada tahun 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan
ini terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa bekerja
selama 12 sampai 16 jam per hari. Demonstrasi besar yang berlangsung
sejak April 1886 pada awalnya dilancarkan oleh sekitar 250 ribu buruh.
Dalam jangka waktu dua minggu, aksi tersebut membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh. Kota Chicago adalah jantung gerakan diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh. Di New York, demonstrasi yang sama diikuti oleh sekitar 10 ribu buruh, di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun menjalar ke berbagai kota seperti Louisville dan di Baltimore demonstrasi mempersatukan buruh berkulit putih dan hitam. Sampai pada tanggal 1 Mei 1886, demonstrasi yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama diikuti oleh setengah juta buruh di negeri tersebut.
Perkembangan ini memancing reaksi yang juga besar dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago’s Commercial Club, dikeluarkan dana sekitar US$ 2.000 untuk membeli peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi. Demonstrasi damai menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan korban dan kerusuhan. Sekitar 180 ribu polisi menghadang demonstrasi dan memerintahkan agar demonstran membubarkan diri.
Polisi pun membabi-buta menembaki buruh yang berdemonstrasi. Akibatnya korban pun jatuh dari pihak buruh pada tanggal 3 Mei 1886, empat orang buruh tewas dan puluhan lainnya terluka. Dengan tuduhan terlibat dalam pemboman delapan orang aktivis buruh ditangkap dan dipenjarakan. Akibat dari tindakan ini, polisi menerapkan pelarangan terhadap setiap demonstrasi buruh. Namun kaum buruh tidak begitu saja menyerah dan pada tahun 1888 kembali melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Selain itu, juga memutuskan untuk kembali melakukan demonstrasi pada 1 Mei 1890.
Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah di Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Tentu saja, bara perjuangan tersebut semakin mengentalkan kesatuan dalam gerakan buruh se-dunia dalam satu perjuangan.
Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889. Kongres yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri dan memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut usulan delegasi buruh dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 guna menuntut pengurangan jam kerja dengan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh se-Dunia.
Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935. Khususnya untuk konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini, baru 14 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.
Masalahnya saat ini, semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih dari 8 jam perhari. Hal ini disebabkan oleh memburuknya krisis imperialisme yang menekan upah dan mempertinggi biaya kebutuhan pokok untuk kehidupan.
Dari Internet
Dalam jangka waktu dua minggu, aksi tersebut membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh. Kota Chicago adalah jantung gerakan diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh. Di New York, demonstrasi yang sama diikuti oleh sekitar 10 ribu buruh, di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun menjalar ke berbagai kota seperti Louisville dan di Baltimore demonstrasi mempersatukan buruh berkulit putih dan hitam. Sampai pada tanggal 1 Mei 1886, demonstrasi yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama diikuti oleh setengah juta buruh di negeri tersebut.
Perkembangan ini memancing reaksi yang juga besar dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago’s Commercial Club, dikeluarkan dana sekitar US$ 2.000 untuk membeli peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi. Demonstrasi damai menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan korban dan kerusuhan. Sekitar 180 ribu polisi menghadang demonstrasi dan memerintahkan agar demonstran membubarkan diri.
Polisi pun membabi-buta menembaki buruh yang berdemonstrasi. Akibatnya korban pun jatuh dari pihak buruh pada tanggal 3 Mei 1886, empat orang buruh tewas dan puluhan lainnya terluka. Dengan tuduhan terlibat dalam pemboman delapan orang aktivis buruh ditangkap dan dipenjarakan. Akibat dari tindakan ini, polisi menerapkan pelarangan terhadap setiap demonstrasi buruh. Namun kaum buruh tidak begitu saja menyerah dan pada tahun 1888 kembali melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Selain itu, juga memutuskan untuk kembali melakukan demonstrasi pada 1 Mei 1890.
Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah di Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Tentu saja, bara perjuangan tersebut semakin mengentalkan kesatuan dalam gerakan buruh se-dunia dalam satu perjuangan.
Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889. Kongres yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri dan memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut usulan delegasi buruh dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 guna menuntut pengurangan jam kerja dengan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh se-Dunia.
Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935. Khususnya untuk konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini, baru 14 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.
Masalahnya saat ini, semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih dari 8 jam perhari. Hal ini disebabkan oleh memburuknya krisis imperialisme yang menekan upah dan mempertinggi biaya kebutuhan pokok untuk kehidupan.
Dari Internet
Jumat, 18 April 2014
Bang Sat Pam
Sekali waktu, saat pulang kerja melewati gerbang yang dijaga dua orang satpam, kulihat seorang pekerja kontraktor dipanggil oleh seorang satpam - kita panggil dia dengan sebutan Abang untuk menghargainya, jadi panggilannya adalah Bang Sat Pam - karena tidak menggantungkan tanda pengenal sebagaimana mestinya. Dengan penuh ketaatan akan menjalankan peraturan Bang Sat Pam ini menghardik "Remeh sekali kau. Keluar sana dan pasang peneng yang benar!" Luar biasa lagaknya, untuk masalah yang sepele. Kontraktor tadi, malu-malu seperti taik dibuang, keluar gerbang dan memasang tanda pengenal seperti yang diinginkan Bang Sat Pam, kemudian masuk lagi. Bang Sat Pam hanya melirik dengan ganas, tetapi tidak ada kesalahan lainnya, jadi dia membiarkan kontraktor tersebut berlalu.
Jika para Bang Sat Pam seserius itu menjaga pabrik, bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak berkepentingan yang akan berkeliaran di dalam pabrik malam hari, dan angka pencurian di dalam bisa ditekan sampai minimum. Tetapi harapan itu masih jauh dari kenyataan, sepertinya. Gertak Bang Sat Pam hanya dipermukaan saja, malam hari mereka menciut seperti alat vital orang tua. Loyo.
Jika para Bang Sat Pam seserius itu menjaga pabrik, bisa dipastikan tidak ada orang yang tidak berkepentingan yang akan berkeliaran di dalam pabrik malam hari, dan angka pencurian di dalam bisa ditekan sampai minimum. Tetapi harapan itu masih jauh dari kenyataan, sepertinya. Gertak Bang Sat Pam hanya dipermukaan saja, malam hari mereka menciut seperti alat vital orang tua. Loyo.
Boss is (not ) always right
Jika dulu paradigma atasan - bawahan adalah seperti berikut:
1. Atasan selalu benar
2. Jika atasan salah, lihat no 1
Maka untuk saat ini dan seterusnya paradigma tersebut menjadi:
1. Atasan tidak selalu benar
2. Jika atasan merasa selalu benar, lihat no 1.
1. Atasan selalu benar
2. Jika atasan salah, lihat no 1
Maka untuk saat ini dan seterusnya paradigma tersebut menjadi:
1. Atasan tidak selalu benar
2. Jika atasan merasa selalu benar, lihat no 1.
Kamis, 17 April 2014
NO MORE WORKS AFTER 6 PM!
Jika aturan ini diberlakukan di Indonesia, banyak Taiwan-taiwan di perusahaan ini yang akan berurusan dengan hukum karena memaksa siapa saja untuk tetap bertanggung jawab selama 24 jam sehari dan dibayar hanya pada hitungan 8 jam sehari.
Kabar gembira untuk warga Perancis, karena pemerintahnya baru saja mengeluarkan peraturan mengenai waktu jam kerja.
Siapapun yang mengirimkan email atau menghubungi karyawan untuk masalah
pekerjaan diatas jam 6 sore berarti ia melanggar hukum yang baru saja
dibuat oleh Pemerintah Perancis. Dikutip dalam artikel buzzfeed.com
yang mengatakan bahwa “Now, there’s a new lifehack for dealing with
email 24/7, and it might just be our favorite yet: Move to France”.
Pemerintah juga melarang perusahaan
menekan karyawannya untuk membuka email atau pekerjaan diluar jam yang
ditentukan. Perancis juga merupakan negara yang menerapkan jam kerja
paling sedikit di banding negara-negara lain.
Sebagian negara heran mengapa Perancis
memberlakukan peraturan ini, karena tidak semua industry di negara mana
pun mempunya waktu kerja yang sama. Aturan baru yang akan memengaruhi
sekitar 250.000 pekerja di bidang teknologi dan konsultan itu, pada
intinya mengatur bahwa pekerja tidak akan dianggap tidak profesional
atau melanggar aturan jika mengabaikan email kantor di luar jam kerja.
Langganan:
Postingan (Atom)